Oleh: Muhammad Farid, M.Sos
(editor Buku "Sejarah Banda Naira", Karya Des Alwi)

Hikayat Lonthor
Pada awalnya Pulau Banda dihuni 2 orang suami-isteri, Suaminya bernama Andan, Isterinya bernama Dalima. Mereka berdua tinggal di Gunung Kumber. Tiga nama panggilan gunung itu, adalah; Gunung Kulitcipu, Gunung Bendera, Gunung Sarua. Dari perkawinan Andan dan Dalima, dikaruniai 5 (lima) orang anak, Anak pertama, laki-laki bernama Kaki Yai, Anak kedua, laki-laki bernama Kele Laiy, Anak ketiga, laki-laki bernama Lele Waiy, Anak keempat, laki-laki bernama Kele Liang, Dan yang kelima (bungsu), bernama Cilubintang. Mata pencahariannya sebagai nelayan, memancing dan mencari siput di laut, selain itu juga berkebun pada bukit-bukit sekitarnya. Dari waktu ke waktu mulailah orang-orang berdatangan untuk mencari hidup di Pulau Andan ini, para pendatang yang menetap diharuskan seizin dari kepala Andan sebagai tuan tanah di Pulau Banda ini, yang ketika itu masih bernama Pulau Andan.

Sesudah para pendatang tinggal beberapa lama di Andan, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing, mereka bercerita tentang Pulau Andan dan tersiarlah khabar bahwa Pulau Andan yang subur banyak terdapat beberapa mata pencaharian antara lain melaut dan berkebun. Maka berduyun-duyun orang berdatangan untuk mencari hidup dan menetap di Pulau Andan ini. Semakin banyak pendatang yang menetap dan menjadi penduduk di Pulau Andan, maka sebutan Pulau Andan ini berubah menjadi Pulau Banda. Para pendatang banyak yang tinggal di kota Blarak. Dengan tersiarnya kabar bahwa, selain Pulau Banda, para pendatang juga berdatangan ke Pulau Rosengin (Pulau Hatta) untuk tinggal/menetap, disana mencari penghidupan baru sebagai nelayan. Ketiga saudara ini, Anak pertama Kaki Yai, Anak kedua Kele Laiy, Anak ketiga Lele Waiy, Berangkat ke Pulau Rosengin ( Pulau Hatta ) dengan korakora untuk menyelidikinya. Setelah mereka, tiga bersaudara tersebut tiba dan tinggal di Pulau Rosengin (Pulau Hatta) beberapa lama, maka datanglah musibah angin taufan, sehingga pulau ini tenggelam dan sekarang disebut Sekaru Pulau Hatta. Pada waktu musibah tersebut, ketiga bersaudara itu terpisah (selamat dengan kora-kora mereka). Kedua saudara yaitu anak keempat Kele Liang dan si bungsu (Cilubintang) yang tinggal di Gunung Bendera dan Gunung Kulit Cipu Pulau Banda mengungsi ke tempat lain yaitu di Gunung Keliy, mereka bergabung dengan orang-orang pendatang antara lain salah satunya bernama Silawane, waktu itu penduduk Pulau Banda tidak terdapat sumber air sama sekali, bila mereka memerlukan airterpaksa mengambil di Gunung Bendera dan Gunung Kulit Cipu. Tempat airnya terbuat dari bambu (lodong ), air yang mereka pikul kadang kala berceceran sehingga timbul beberapa aliran anak sungai kecil-kecil. Kesedihan dan kerinduan adiknya yang bungsu (Cilubintang) kepada ketiga saudara yang sedang berada di Pulau Rosengin, yang telah lama belum juga kembali maka dengan tangisan dan menggosok-gosok kakinya di tanah tetes air mata Cilubintang itu jatuh ke tanah sehingga menjadi kolam air mata Cilubintang. Sekarang ini dinamakan air kampung yang tiap-tiap upacara buka kampung harus mengambil air kampung itu waktunya pun pada jam 12 malam dengan toples/botol.

Ketiga saudara yang ditimpa musibah angin taufan itu terdampar di salah satu kepulauan Indonesia (yang mereka tidak tahu namanya) yang penduduknya beragama Islam. Setelah mereka bertiga tinggal beberapa lama di pulau itu, akhirnya mereka bertiga pulang lagi ke Pulau Banda, tetapi di tengah laut Kaki Yai (anak tertua) terlempar ke laut dan tenggelam, kedua saudara itu berusaha mencari Kaki Yai yang tenggelam namun tidak ditemui, keduanya (Kele Laiy dan Lele Waiy) melanjutkan perjalanan pulang ke Pulau Banda. Dalam perjalanan tiba-tiba dihadapan mereka terlihat sebuah gunung dan ternyata gunung itu adalah gunung api. Tibanya kedua bersaudara bertepatan pula waktu menjelang subuh di hari Jumat. Mereka singgah untuk shalat subuh dan sekarang tempat itu disebut Sembayang. Setelah shalat subuh mereka berangkat menuju ke Kumber, dan di tengah perjalanan antara Banda Besar dan Gunung Api mereka mendengar beduk berkali-kali. Mereka pun memutar haluan ke tempat asal bunyi itu.

Ketika tiba di tempat itu mereka bertemu dengan kedua saudaranya itu ialah Cilubintang dan Kele Liang. Mereka pun bertanya “siapakah yang mengajar agama Islam di kampung ini”, maka dijawab oleh Cilubintang, “yang membawa agama Islam adalah Kaki Yai (anak tertua)”. Maka dua bersaudara itu (Kele Laiy dan Lele Waiy) terkejut mendengarnya, keduanya merasa heran, Kaki Yai yang telah jatuh kelaut rupanya masih hidup, juga tibanya lebih dahulu dari mereka berdua. Kaki Yai (anak tertua) bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya di tengah laut, bahwa ia ditolong oleh seekor hiu (yo) raksasa, hiu yang badannya berbintang-bintang. Sebagai pembawa jalan adalah seekor ikan serui dan sebagai penerang jalan atau lampu jalan adalah sekelompok ikan tali-tali (ikan momar). Kisah kecelakaan Kaki Yai itu sampai sekarang ini ada dalam kabata tarian Cakalele Lontor.

Lima bersaudara mendirikan sebuah Mesjid yang sekarang ini disebut Mesjid Kenari Istiga, saat itu pula pendatang-pendatang baru yang tinggal di Pulau Banda memeluk agama Islam, maka tersiarlah Khabar di seluruh Kepulauan Banda ini bahwa di kampung Wailondor sudah masuk agama Islam dan dalam kabata pun tarian Cakalele disebut “Salam Lebi dulu Wailondor’e”.

Pulau Banda banyak pula didatangi orang-orang dari kepulauan sebelah Timur. Sampai hari ini tempat itu pun disebut Pantai Timur. Salah seorang Kapitan Timur bermaksud meminang Cilubintang (si bungsu), kelima saudara pun menyetujuinya, sedangkan sebagai mahar perkawinan permintaannya diserahkan sendiri kepada Cilubintang. Keputusan Cilubintang maharnya berupa buah pala sebanyak 99 buah. Mendengar permintaan Cilubintang, Kapitan Timur terkejut mendengarnya karena nama buah pala baru didengarnya, bentuk dan rupanya pun belum diketahuinya. Setelah beberapa lama mencari buah pala, kemudian Kapitan Timur itu kembali dengan membawa 99 buah pala sebagai mahar, namun sayangnya sebelum memasuki hari pernikahan Kapitan Timur meninggal dunia. Buah pala yang diberikan Kapitan Timur itu oleh kelima bersaudara mulai ditanamnya di tempat kelahiran mereka yaitu Gunung Kulit Cipu dan Gunung Bendera.

Semakin banyak pendatang dari seluruh pulau-pulau dari bagian barat ke Pulau Banda ini, seperti orang-orang Jawa, Kalimantan dan Sumatra. Pulau Banda mulai ramai, diantara salah satu pendatang adalah seorang Jawa keturunan ningrat (raden) yang kemudian meminang Cilubintang untuk menjadi isterinya. Maka kawinlah Cilubintang dengan orang Jawa tersebut (raden) dan setelah berkeluarga tak lama kemudian mereka pergi ke Jawa.

Keempat saudara Cilubintang membentuk kelompok-kelompok yang dipimpin oleh seorang Nira atau kepala kelompok atau ketua kelompok. Sesudah terbentuk sembilan kelompok, tiap-tiap kelompok harus mencari sumber air. Setelah beberapa hari mencari sumber air, maka sebuah kelompok secara kebetulan melihat seekor kucing yang baru saja keluar dari semak-semak dengan badan telah basah. Maka kelompok itu masuk ke semak-semak ke arah keluar kucing tadi dan ternyata kucing itu baru habis minum dalam sebuah kolam (sumber air). Kelompok yang telah menemukan sumber air itu lalu memberi tanda dengan memukul tifa berkali-kali. Kemudian berdatanganlah kelompok-kelompok lain kepada kelompok yang menemukan sumber air itu, dan diceritakanlah tentang penemuan sumber air itu. Dengan bahasa adat, yaitu “Ramjati Kami Ramjati Kubunyi Ngeong-ngeong Kami Ramjati” dan bila ada acara cuci sumur pusaka, kabata itu harus disebutkan dalam beberapa waktu lamamya baru mereka membuat sumur. Tapi malang dalam penggalian sumur terjadi musibah tanah longsor, sehingga 33 orang meninggal dunia dan harus disiapkan kain putih sebanyak 99. [kutipan langung dari buku “Sejarah Banda Naira”]

Nah, jadi ngerti kan asal nama “Banda” yang dulunya “Andan”? Kita juga jadi tahu sebab musabab beberapa hal, seperti; asal terjadinya “kolam cilubintang”, kenapa disebut “pante sambayang”, atau cerita mistik dibalik penemuan “sumur pusaka” di lonthor? Dan masih banyak lagi lainnya.

Wah, ternyata Banda juga punya cerita mistis tentang asal muasal nya. Sama halnya dengan peradaban-peradaban besar dunia lainnya, seperti; mitologi Yunani Kuno, China, Mesir Kuno, dll. Mungkin itulah karakteristik masyarakat terdahulu yang begitu lekat dengan dunia mistis.

Tapi agak sulit juga kalo “hikayat lonthor” disebut mistik, yang berarti gak masuk akal. Sebab, naskah itu ada dan tertulis, meskipun banyak yang meragukan keaslian bahasa yang ditulis dengan bahasa yang digunakan zaman itu. Dalam kunjungan Gubernur Jendral De Graaf pada 1925 di Banda Naira, Said Baadilla berhasil membawa De Graaf ke kampung adat Lontor untuk kunjungan resmi, dan De Graaf memberikan kampung adat Lontor bendera oranye sebagai tanda setia kepada Pemerintah Belanda. Saleh Nurbati atau Nerabati kemudian memberikan Hikayat Lontor kepada Gubernur Jendral Graaf. Pada 1927 keluarlah hasil penelitian dari ahli sejarah Belanda di Indische Museum Amsterdam, bahwa walaupun ditulis dalam bahasa Melayu dengan huruf Jawi (Arab), Hikayat Lontor dianggap tidak asli karena bahasa Melayu dari hikayat tersebut adalah bahasa Melayu abad ke-20 (modern) dan bukan bahasa Melayu kuno. Karena kejadian tersebut maka Regent Lontor Saleh diganti dengan O.K Samsi pada 1927.

Sewaktu Bung Hatta dibuang ke Banda Naira, saat berada di pantai Belakang Lontor seorang bernama Abdul Kader menunjukkan naskah hikayat itu kepada Bung Hatta. Setelah Bung Hatta membacanya, komentar Bung Hatta bahwa Bahasa yang digunakan dalam hikayat itu tidak sesuai dengan ragam bahasa yang semestinya digunakan pada zaman itu. Tulisan itu hanya merupakan dongengan, kata Hatta. Sementara itu Bung Sjahrir juga pernah mendengar adanya Hikayat Lontor, tapi ia tidak pernah membacanya dan juga tidak tahu siapa yang menyimpannya. Hikayat Lontor itu kalau betul otentik pasti sudah disebut oleh ahli sejarah Ulama Radjali dari Hitu atau Valentijn yang pernah tinggal di Lontor pada 1690-1701.

Benarkah “hikayat lonthor” hanya dongengan semata? Atau merupakan cerita asli rakyat Banda? Hanya Allah yang tahu. Kita hanya patut bersyukur, karena telah memiliki “sejarah” tanah kelahiran kita. Meskipun sejarah memang selalu “berpihak” pada penulisnya.

0 comments:

SAIL BANDA 2010

Serba-Serbi Banda Naira