".....mengasingkan Banda sama dengan bersikap acuh dan tak peduli terhadap negeri sendiri. Ketidakpedulian terhadap negeri sama halnya dengan membutakan mata dan menutup rapat telinga kita terhadap segala persoalan yang malanda negeri ini..."
Oleh: Muhammad Farid, M.Sos (Poetra Run)
Kurang lebih 60 tahun yang lalu, pernah tinggal di Banda Naira seorang briliant dan pemikir sejati, yang kemudian menjadi pendiri Negara Republik Indonesia, dialah Dr. Ir. Mohammad Hatta. Motivasi Belanda "membuang"-nya di Banda Naira adalah agar dapat dengan mudah "mengontrol" nalar kritis Hatta yang dipandang berbahaya bagi stabilitas kompeni yang saat itu menjadikan Banda sebagai Pusat Pemerintahan VOC-nya (Governer). Banda yang juga dikenal sebagai wilayah perdagangan rempah-rempah dunia, dus tempat perjumpaan para saudagar Eropa dan Timur Tengah yang datang, bermukim dan berketurunan di Banda Naira. Karena itu, wajar saja bila banyak dari warga keturunannya yang manis-manis dan tampan rupawan. Konon katanya, alasan ini pula yang melatarbelakangi pengasingan Hatta di Banda, yaitu agar "sibuk" mengurusi urusan "keduniaan" dan bukan "kenegaraan".
Namun niat jahat Belanda justru menjadi bumerang yang telak mengena jantung pertahanannya sendiri. Hatta dan kawan-kawan malah menjadi lebih kritis dan semakin bersemangat untuk mewujudkan "mimpi" mereka tentang Negara Kesatuan Indonesia yang berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Maka disusunlah rancangan kasar dari butir-butir Proklamasi Kemerdekaan RI, yang ditulis di Banda Naira. (dalam hal ini masyarakat Banda patut berbangga hati, sebab jauh sebelum rakyat Indonesia mengetahui rumusan Proklamasi Kemerdekaan, orang Banda sudah "menikmati" aroma kemerdekaan itu lebih awal)
Midas dan musuh kecil
Jika dianalogikan, gambaran sejarah di atas mengingatkan kita pada cerita anak tentang Serigala Midas yang selalu ingin memangsa hewan-hewan ternak kecil (ayam, itik dan babi kecil) lainnya yang hidup tidak jauh dari tempat tinggalnya. Namun usaha Midas tidak pernah berhasil. Kelicikan Midas selalu saja gagal oleh kecerdikan musuh kecilnya yang dengan lihai mampu menjaga keselamatan diri dan tempat tinggal mereka. Alhasil, ambisi Midas untuk memuaskan kepentingan pribadi harus berakhir dengan malapetaka dan kesialan di setiap akhir episode. Belanda si-penguasa dapat saja kita samakan dengan Midas, sementara "musuh kecil"nya adalah Bung Hatta dkk yang kritis, dinamis, maju, dan loyal terhadap bangsa.
Orang Banda dalam Jerat Problematika
Kini, di era Reformasi, Banda seakan tenggelam dalam lautan sejarah masa lalu. Dan membuat banyak orang lupa, bahwa di Banda pernah terukir sejarah penting tentang kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan bagi sebagian orang Banda sendiri, sejarah tidak lebih dari puing-puing bangunan tua yang tak bernilai sama sekali. Banda akhirnya kembali menjadi tempat pengasingan (atau diasingkan?) untuk kesekian kali!
Padahal, mengasingkan Banda sama halnya dengan bersikap acuh dan tak peduli terhadap negeri sendiri. Ketidakpedulian terhadap negeri sama halnya dengan membutakan mata dan menutup rapat telinga kita terhadap segala persoalan yang malanda negeri ini. Jika dirunut sejumlah persoalan ada, sungguh tulisan ini tak sanggup melakukannya.
Namun tentunya, kita tidak bisa terus menerus membutakan mata terhadap nasib nelayan yang terjerat patokan harga ikan yang sangat tinggi? Kita pun tak bisa berpura-pura tuli terhadap teriakan saudara-saudara kita yang tak kebagian jatah beras miskin yang hilang entah kemana? Kita juga tidak bisa acuh terhadap nasib pekerja yang hidup dibawah standar UMR oleh perusahaan asing? Belum lagi masalah BBM yang harganya menjulang tinggi tidak rasional?
Lebih dari itu, butakah kita terhadap kondisi ummat yang hidup dalam sekat curiga, cemburu, dan iri hati? Atau sikap superior satu kelompok atas kelompok yang lain; yang menganggap hanya "orang kampung saya" yang bisa begini dan begitu, sementara "orang kampung lain" tidak bisa, bahkan tidak boleh. Belum lagi asumsi-asumsi negatif yang mempetak-petakan masyarakat kedalam golongan orang negeri dan pendatang. Adakah perhatian kita terhadap persatuan dan kesatuan ummat?
Bagaimana dengan potret vulgar pola "pergaulan bebas" masyarakat kita? Dengan maraknya tempat-tempat hiburan malam (billiard, prostitusi, miras adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan). Adakah kepedulian kita terhadap masa depan anak negeri? Kenapa ironi ini harus terjadi di negeri kecil, dan hanya didiami oleh satu umat?!
Pemimpin & Masyarakat: Dua Cermin berhadapan
Rasulullah saw., pernah bersabda: "Bagaimana keadaan kalian, demikian pula ditetapkan penguasa atas kalian". Kalimat singkat ini mengandung beberapa makna:
Pertama, ia dapat berarti seorang penguasa atau pemimpin adalah cerminan dari keadaan masyarakatnya. Pemimpin atau penguasa yang baik adalah yang dapat menangkap aspirasi masyarakatnya, sedangkan masyarakat yang baik adalah berusaha mewujudkan pemimpin yang dapat menyalurkan aspirasi mereka.
Kedua, dapat pula bermakna suatu pesan untuk tidak tergesa-gesa menyalahkan terlebih dahulu pemimpin yang menyeleweng, durhaka atau membangkang, karena pada hakekatnya yang bersalah adalah masyarakat itu sendiri. Bukankah pemimpin adalah cerminan dari keadaaan masyarakatnya?
Jadi, apapun problem yang dihadapi masyarakat akan terasa begitu lekat dengan sang pemimpinnya, begitupun sebaliknya. Karenanya dapat dipahami mengapa Nabi Muhammad saw. menekankan pentingnya mengangkat pemimpin yang kuat, punya keahlian, dan amanah. Rasul bersabda: "Amanat terabaikan dan kehancuran akan tiba, bila jabatan diserahkan kepada yang tidak mampu."
Sebaliknya, masyarakat yang enggan menegur atau mengoreksi pimpinannya atau menyanjungnya secara berlebihan pada hakekatnya telah menanam benih keangkuhan dan kebejatan pada diri pempimpinnya walaupun pada mulanya sang pemimpin adalah seorang yang baik. Disinilah pentingnya peranan koreksi sosial atau dalam bahasa agama, amr ma’ruf nahy munkar yang harus terbina dalam hubungan pemimpin dan masyarakatnya.
Bila hubungan pemimpin dan yang dipimpin dimaknai sebagai satu kerangka tubuh yang saling berhubungan dalam mengemban amanat bersama. Maka modal utama yang harus dipegang adalah Istiqamah dalam memperjuangkan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik; saling nasehat-menasehati dalam kebajikan, menegakkan amr ma’ruf nahy munkar bersama-sama demi kemajuan negeri yang lebih baik. Berhentilah menyalahkan pemimpin jika umat sendiri tak ingin maju dan diperbaiki. Sebaliknya, sebagai pemimpin jangan anti-kritik dan emosional jika mendapat koreksi dari rakyatnya ketika ia berbuat salah. Akui itu sebagai kekhilafan, dan terimalah dengan lapang dada.
Jika hubungan harmonis ini telah terbina, maka kriteria putra daerah atau tidak, orang nagri atau pendatang, bertitel tinggi atau rendah, berkulit hitam atau putih bukan lagi ukuran, selama dia mampu mengemban amanat dan beroerientasi pada kemaslahatan umat, maka dialah yang pantas menjadi pemimpin.
Renungan Kita bersama
Cerita tentang kelihaian ternak kecil untuk menghindar dari tipu muslihat Midas dapat menjadi pelajaran bagi rakyat yang selalu dizalimi pemimpinnya yang serakah dan mementingkan nafsu pribadi. Meskipun itu hanya dongengan anak, namun memiliki korelasi dengan kisah perjuangan Hatta di Banda Naira melawan penjajah yang semena-mena, memeras keringat rakyat, membunuh daya nalar, dan mengasingkan rakyat dari wilayahnya.
Gabungan kedua kisah tersebut akan memberikan bekal semangat untuk maju dalam membangun negeri ini menjadi lebih bermartabat. Dan untuk menggapai sebuah kemajuan, masyarakat Banda harus kritis, loyal dan berani untuk "membungkam" segala bentuk penipuan terhadap hak rakyat banyak, sikap-sikap egoistik untuk memperkaya diri sendiri, sikap angkuh dan anti kritik diantara masyarakat dan pemimpinnya. Namun tetap jujur, amanah dan bertanggungjawab dalam segala sikap dan tindakannya.
Jadi, berhentilah bernostalgia tentang Banda yang maju, makmur, indah dan memiliki nilai historis tinggi, sebab semua itu bukan hanya cerita lalu, tapi juga nyaris punah oleh "tangan-tangan kotor" manusia sendiri. Bangunlah dari mimpi dan lihatlah Banda kini. Apa yang kita temukan hanyalah penggalan-penggalan sejarah diselimuti kebusukan hati dan pikiran, kebodohan dan keterbelakangan. Atau tetaplah bermimpi jika kita terlanjur "senang" hidup dibawah mendung yang sedang menggantung.
Wallahu a’lam
0 comments:
Post a Comment