Oleh Syamsul Bahri, ST
Penikmat sepakbola asli Run. Tinggal di Malang

Anggota FORUM INTERNISTI INDONESIA




DI TENGAH kejutan akibat lonjakan harga bahan pokok yang kian melejit; tingginya harga minyak goreng, telor, tepung, beras dan yang paling gress kacang kedelai untuk tempe dan tahu, kita dikejutkan kembali dengan berbagai aksi brutalisme dan anarkisme dalam dunia sepakbola. Apa hubungannya? Ya, tampaknya fair play dan sportivitas yang tak bosan kita gaungkan itu nyaris sama mahalnya dengan harga bahan-bahan pokok saat ini?!


Fair play dan sportivitas adalah dua kata yang paling sering terdengar dalam dunia sepakbola, sekaligus menjadi bukti bahwa keduanya merupakan dambaan setiap insan pencinta bola terhadap persepakbolaan tanah air. Namun seiring waktu berjalan, sepertinya sepakbola kita semakin jauh panggang dari api, fair play yang didengung-dengungkan sebatas slogan saja, sportivitas yang dielukan cuma mimpi belaka, melihat fenomena kerusuhan antar suporter, oficial, hingga tawuran antar pemain yang baru-baru ini terjadi. Sedemikian parahkah mental pesepakbola kita? Atau serendah itukah diri kita hingga begitu mudah dipenuhi nafsu kekerasan, kebencian dan agresi?!

Padahal, jika melihat segmentasi penikmat bola di Indonesia dari tahun ke tahun justru menunjukkan tren yang cukup positif. Dulu tidak ada satu pun orang tua yang berani datang ke Stadion untuk menyaksikan langsung pertandingan bola. Namun kini, bukan hanya orang tua, bahkan istri dan anak-anaknya pun ikut dibawa. Sama halnya penikmat bola wanita yang semakin hari makin menjamur ikut ngumpul bareng tumplek blek dengan penikmat bola lainnya dari pria yang umumnya berusia remaja itu. Secara sederhana, hal ini merupakan indikator adanya safety feeling setiap orang untuk datang ke stadion. Dengan keamanan yang dirasakan, maka banyak orang semakin nyaman, dan tanpa ragu lagi membawa keluarganya ke stadion. Setidaknya itulah fenomena sepakbola yang ada di kota Malang, dan sepertinya tidak jauh berbeda dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Makassar.
Kesadaran publik bola (suporter) juga semakin meningkat, dengan atraksi-atraksi yang semakin kreatif dan inovatif tanpa anarkhi, seperti yang ditunjukkan suporter Indonesia saat mendukung Timnas vs Arab Saudi di piala Asia tahun lalu. Meskipun saat itu Timnas kalah, para suporter (gabungan se-Indonesia) ikut standing appalause memuji kebesaran hati dan semangat juang para pemain Timnas yang tanpa kenal lelah. Lalu apa yang salah dengan sepakbola kita, sehingga stadion harus dibakar? Para pedagang kaki lima dan mobil-mobil harus dirusak seperti yang terjadi di Kediri 16 Januari lalu?

BUTUH PENGADIL YANG KOMPETEN

Sesungguhnya kita dituntut lebih jeli melihat seputar persoalan kerusuhan suporter, oficial dan pemain yang terus terjadi akhir-akhir ini. Tanpa kejelian, persoalan ini akan berlarut tak kunjung usai. Kita juga butuh klarifikasi dengan sasaran yang lebih jelas tentang Fair Play dan Sportivitas yang juga tidak jelas itu. Sadarkah kita bahwa selama ini Fair Play dan Sportivitas terlanjur "dikhsusukan" kepada para pemain dan penonton? Seperti yang terlihat di setiap awal pertandingan, dua orang Kapten dipanggil lalu dihimbau untuk menjunjung tinggi fair play. Sementara di tribun penonton terdengar sayup-sayup suara corong panitia diantara gemuruhnya para suporter meminta untuk tetap menjaga ketenangan dan sportif. Seakan-akan sikap sportif dan fair hanya mutlak dimiliki para pemain dan suporter, lain tidak. Maka jika terjadi kerusuhan, para pemain dan suporter lah yang disalahkan, dihina, dianggap tribalis, anarkhis dan seterusnya.
Padahal, untuk menjamin suksesnya sebuah pagelaran sepakbola yang fair dan sportif dibutuhkan keterlibatan semua pihak; pemain, suporter, pengadil, pengawas dan penyelenggara. Artinya, sikap sportif dan fair seharusnya menjadi tanggungjawab bersama. Tidak boleh ada ketergantungan antara satu dengan lainnya, apalagi penyelewengan oleh salah satu pihak. Sebab segala bentuk penyelewengan hanya akan menyalakan sumbu bagi kerusuhan yang siap meledak.

Meski demikian, tanggungjawab yang sesungguhnya ada pada pundak seorang pengadil, karena dialah sumber segala keputusan, dan membuat itu menjadi final. Karena itu, wasit dituntut untuk selalu benar, dan tidak boleh salah. Kesalahan sekecil apapun hanya akan membuat wasit dihujat dan dicaci maki, kalau tidak dipukul. Mungkin disini letak antagonisme kita terhadap wasit.

Oleh sebab vitalnya peran pengadil, maka kebutuhan akan pengadil yang kompeten adalah mutlak. Dalam hal ini meliputi; wasit dan asisten wasit (hakim garis). Komptensi pengadil meliputi wawasan kepelatihan; mengetahui hukum dan aturan main sepakbola, disertai adanya ketegasan sikap dan kejujuran nurani di setiap keputusan yang diambil. Wawasan kepelatihan terkait hukum dan aturan main sepakbola harus terus ditingkatkan, sebab aturan dan hukum akan selalu dikembangkan oleh FIFA seiring dengan makin tingginya teknik dalam sepakbola. Dengan wawasan yang luas maka kesalahan-kesalahan yang sifatnya teknis akan dapat diminimalisir. Seperti halnya 2 gol (Emile Mbamba dan Patricio Morales) yang dianggap offside oleh asisten wasit pada pertandingan Arema vs Persiwa di Kediri lalu. Padahal, untuk menganalisa pemain terperangkap offside tentunya diukur ketika bola mulai digulirkan, bukan saat pemain mampu mengontrol bola yang didapat. Ini jelas kesalahan teknis akibat kurangnya wawasan sepakbola seorang pengadil. Jika kesalahan ini dibiarkan terus terjadi, alih-alih mendapat tontonan sepakbola yang berkualitas, yang ada hanya tontonan dagelan seorang wasit.

Jika wawasan telah terpenuhi, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah ketegasan sikap dan kejujuran hati seorang pengadil. Wasit haruslah tegas dan jujur dalam menindak. Kebimbangan dan keraguan dalam mengambil keputusan hanya mengundang "curiga" banyak pihak akan keberpihakan wasit. Dan itu semakin memperburuk citra pengadil tentunya. Tegas juga bukan berarti menampakkan hanya wajah garang, dan jujur bukan berarti harus terus mengumbar senyum agar terlihat layaknya good person meskipun terus diprotes. Sebab semua itu tidak berpengaruh jika wasit justru melakukan kesalahan (teknis) penilaian. Jangankan untuk menampakkan wajah garang, senyum yang diobral justru semakin dibenci pemain maupun suporter. Karena itu, kewibawaan seorang pengadil tidak mungkin didapat tanpa wawasan yang baik, ketegasan sikap dan keujujuran dalam bertindak.

FROM HERO TO ZERO

Hari tragedi Kediri, kemudian disusul Solo satu hari berikutnya, memberikan pukulan berat bagi siapapun yang mendambakan sepakbola damai di nusantara ini. Namun pukulan yang teramat telak justru dideritai oleh Aremania, Best of the Best Suporter Indonesia. Bayangkan, tragedi rusuh satu malam harus dibayar mahal dengan tidak bisa menikmati pertandingan selama 3 tahun! Sesuatu yang (seharusnya) tidak boleh terjadi, mengingat prestasi gemilang yang telah ditorehkan selama ini sebagai suporter terbaik. Aremania kini seperti menemukan titik kulminasinya dari Hero to Zero, sesuatu yang sulit dibayangkan oleh Aremania sendiri tentunya.

Betapa tidak, kejadian yang begitu cepat dalam satu malam mengakibatkan kerugian yang diderita Pemkot Kediri mencapai 1 Milyar Rupiah (Jawa Pos, 18/01/08). Beberapa fasilitas vital seperti 76 pipa pagar pembatas, mesin diesel air, trafo listrik, papan iklan, empat gawang, bangku cadangan wasit, pemain dan pengawas rusak berat. Wajah stadion Brawijaya seperti bopeng, tinggal bekas-bekas hitam akibat dibakar. Tidak sampai disitu, kerusuhan berlanjut sampai di luar stadion yang mengakibatkan 14 rumah rusak akibat dilempar, sejumlah mobil pribadi, bus, dan sepeda motor ikut dirusak. Korban luka-luka pun berjatuhan, termasuk 9 orang dari Aremania sendiri.

Yang tersisa hanyalah kerugian untuk semua pihak. Ya pemerintah, ya Arema dan Aremania. Dampak bagi Arema FC tentu sangat "terasa beda". Tak terbayangkan jika Arema harus tampil tanpa dukungan Aremania. Sebab Arema FC selama ini dikenal jago kandang, dukungan suporter sering menjadi "doping" untuk melipat gandakan semangat para pemain. Namun dengan tragedi Kediri, semangat juang Arema diduga akan banyak berkurang.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah, fenomena Aremania akan menjadi justifikasi bagi suporter lainnya di tanah air untuk melakukan tindakan yang sama, mengingat Aremania merupakan barometer suporter terbaik negeri ini. Bayangkan jika suporter yang menjadi teladan saja mampu melakukan anarkhis, bagaimana dengan suporter yang selama ini belajar dan meneladani? Sikap imitasi (ikut-ikutan) dari sebagian besar anggota suporter yang masih remaja ini dikhawatirkan memicu problem sosial yang lebih serius. Mungkin awalnya hanya senang, namun selanjutnya mencontohi sehingga ikut senang (mudah) merusak. Parahnya jika sifat ini berproses kearah identifikasi yang dapat mempengaruhi akal dan jiwanya, hingga membentuk kepribadian kasar, keras, yang ringan tangan untuk merusak?!

Tragedi Kediri sepatutnya menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa betapapun sulitnya kita menerima sebuah keputusan, betapapun perihnya hati kita menerima segala hasil, betapapun sakitnya kita dianiaya, tindakan membabi buta tentu tidak akan pernah memberikan manfaat apapun, justru yang ada hanyalah kerugian semua pihak, sesuatu yang sungguh tidak kita butuhkan, bukan?

Semua harus disikapi dengan legawa, seperti yang telah diteladani Aremania selama ini. Jika kebesaran hati dan jiwa mampu diberikan Aremania dalam menyikapi segala hal, bukan mustahil dapat membalikkan keadaan menjadi form zero to hero.

TIDAK BERHARAP BANYAK

Namun upaya peningkatan kualitas sepakbola dengan pengadil yang kompeten dan diikuti kedewasaan para suporter di tanah air, tampaknya akan menelusuri jalan panjang nan berliku. Sebab tanggungjawab yang diemban penyelenggara sepakbola PSSI belum menunjukkan kesungguhan yang berarti. Organisasi tertinggi sepakbola tanah air ini dinilai banyak pihak masih belum serius, dengan banyaknya kesalahan prosedural yang dilakukan, atau kelengahan yang selalu dibuat berulang kali, meskipun harus dibayar mahal dengan kekecewaan banyak pihak, dan tidak jarang berujung pada konflik.

Kesalahan prosedural ditunjukkan PSSI ketika tidak mampu mengikutsertakan Arema dan Persipura dalam pagelaran Liga Champion Asi musim lalu, dengan alasan keterlambatan pendaftaran, masuk akalkah? Anehnya, kesalahan itu diulangi kembali musim ini.

Kesalahan lainnya adalah Kelengahan PSSI, dalam hal ini BLI, ketika pertandingan Arema vs Persiwa lalu, tidak tampak satupun pihak BLI (Badan Liga sepakbola Indonesia) yang hadir, sebagaimana yang diakui Ketua Pengda Jatim, Haruna Soemitron (Jawa Pos, 18/01/08). Padahal, bukankah tugas mereka itu mengawasi pertandingan dan kerja para pengadil? Kalau pengawasnya saja tidak hadir, bagaimana mungkin pertandingan bisa berjalan dengan baik sesuai harapan? Bagaimana pula keamanan dapat terjamin?

Ditambah lagi dengan kondisi internal PSSI yang masih banyak dipenuhi orang-orang "bermasalah", yang entah kenapa masih ngotot bertahan (dipertahankan?) meskipun telah diminta mundur oleh Badan Sepakbola Dunia, FIFA! Jika demikian, bagaimana mungkin dapat melahirkan para pengadil yang bersih dan jujur? Alih-alih menginginkan sepakbola yang berkualitas.

Mutlak diperhatikan, bahwa indikator utama dari sebuah pagelaran yang sukses utamanya tertumpu pada para pengadil yang kompeten. Bukan pada banyaknya aparat kemananan yang dikerahkan, atau tingginya pagar pembatas. Sebab semua itu dapat "ditembus" jika dipicu oleh pertandingan yang tidak fair. Bukankah ada asap karena ada apinya? Sama halnya dengan para suporter, yang tidak mungkin bereaksi jika tidak dipancing emosinya.

Potret buram persepakbolaan negeri ini sesungguhnya merupakan cermin kondisi akut dari akumulasi problem yang dideritai PSSI. Karena itu, jangan terlalu berharap banyak untuk menikmati sepakbola yang berkualitas, sebab kini semakin mahal saja harganya, semahal tempe kedele yang sehari-hari kita nikmati dulu.
Tulisan ini juga dimuat pada majalah Lokal milik orang Malang, Januari 2008

0 comments:

SAIL BANDA 2010

Serba-Serbi Banda Naira