Organisasi Pembelajar:
Hasil “Shared Experiences”



Di tengah dunia yang kini menjadi begitu kompetitif dan terus berubah, dimana akses informasi menjadi sangat berlimpah dan terbuka, kita semua makin sadar bahwa hanya individu dan organisasai yang senantiasa belajar-lah yang bisa survive. Namun, sekedar menambah kelas training atau mengirimkan sejumlah pegawai untuk sekolah, nyata-nyata tidak semata lantas membuat organisasi menjadi learning organization. Sebuah lembaga pemerintah bergengsi, yang secara terprogram membiayai karyawannya untuk meningkatkan gelar pendidikan ke jenjang S2, bahkan sangat lumrah sampai ke jenjang PhD, dan sangat rajin mengirimkan ahlinya ke luar negeri, tetap belum dapat digolongkan learning organization karena budaya belajarnya tidak kelihatan dari luar, maupun tidak terasa di dalam.

Organisasi pembelajar tidak terdiri atas individu-individu yang bernafsu meningkatkan gelar pendidikannya hanya demi jabatan, kekuasaan serta status sosial tanpa memikirkan kontribusinya bagi pembelajaran itu sendiri.
Menurut para ahli, “In a learning organization, when one of us gets smarter, we all can get smarter”. Ternyata, dalam organisasi pembelajar, tidak semua orang harus belajar, tetapi proses pembelajaran akan menular tanpa terasa dan perlahan namun pasti pencerdasan sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi tanpa perlu formalitas belajar secara harafiah. Bisa kita bayangkan, kalau dalam sebuah organisasai saja proses pembelajaran formal dan non-formal yang sudah diupayakan mati-matian masih sulit terlaksana, bagaimana nasib sebuah organisasi yang tidak serius mendesain proses pembelajaran anggota-nya?

Dari beberapa organisasi yang sukses, kita bisa mem-benchmark beberapa praktek yang sebetulnya sudah kita laksanakan, walaupun belum sistematis. Dalam organisasi pembelajar yang sudah jadi, teramati individunya menampilkan tindakan yang lebih terkontrol dan kata-katanya tidak sekedar “asbun” (asal bunyi), namun lebih bisa dipertanggungjawabkan, terkait “lesson learned” dan informasi kunci untuk menampilkan pemikiran terbaiknya. Yang jelas, setiap individu dalam organisasi menampilkan sikap “tidak pelit ilmu” dan juga meyakini bahwa kompetensi seperti sikap, nilai dan ketrampilan juga bisa ditularkan pada orang lain.

Suasana dalam organisasi pembelajar tidak muncul dalam suasana “sinau” (belajar intensif, bahasa jawa), namun lebih tampak pada diskusi seru, komunikasi intensif, keinginan untuk updating, serta rasa haus akan kesempatan belajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Darimana kamu dapat ide itu?”, “Bagaimana sih caranya?”, “Bagaimana kalau…..”, berkumandang di rapat-rapat yang membuat setiap orang dalam organisasi merasa seperti berada di sebuah laboratorium raksasa yang tiada henti menyambut inovasi baru ataupun tantangan yang berasal dari masalah dan kesempatan yang terlihat.

Organisasi boleh berharap menjadi organisasi pembelajar, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk mendukung pelatihan dan bentuk program pembelajaran lainnya, tetapi kalau suasana kerja tidak “friendly”, kaku, tidak mampu melakukan komunikasi yang menembus divisi, doyan berpolitik, berperilaku tidak sejalan dengan misi organisasi alias penuh birokrasi dan masih sibuk mementingkan kebutuhan pribadi, semua upaya akan percuma.

Organisasi pembelajar akan tercipta hanya bila suasana kerja mendorong “pengembangan pribadi” dan “personal mastery” secara utuh, menyemangati kerja tim, memberi kesempatan untuk “problem solving” dan mengupayakan evaluasi yang jujur dan tulus. (Kompas/E. Rachman & S. Savitri)

0 comments:

SAIL BANDA 2010

Serba-Serbi Banda Naira